Selasa, 23 Februari 2010

NILAI K

PERUBAHAN NILAI K
Diumumkan pada seluruh mahasiswa FIS UNNES bahwa pengurusan Nilai K yang diperoleh pada semester gasal 2009/2010 masih bisa dilakukan hingga 25 Februari 2010 pukul 23:59 wib.Untuk itu bagi mahasiswa Sosiologi & Antropologi FIS UNNES yang masih memiliki nilai K pada periode tersebut agar segera menemui Dosen yang berkaitan dan segera menyelesaikan segala sesuatuny.

NILAI PPL
Bagi Mahasiswa SOS-ANT yang nilai PPL belum Keluar di SIKADU harap segera di urus ke UPT PPL sampai batas akhir Tanggal: 1 Maret 2010 Jam 13.00

Senin, 09 November 2009

JUDUL FILM BERKAITAN DENGAN SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI



VCD PEMBELAJARAN
JUDUL VCD PEMBELAJARAN

KARYA DAN KOLEKSI SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI
BOLEH DIBELI OLEH GURU-GURU SOSIOLOGI
HUB. 024-8508013-70859833

No Judul
1 Warga Marginal ditengah SPA
2 Sosialisasi peran gender
3 KKL (pelatihan membangun sensitivtas etika dan budaya di Perguruan Tinggisosant di Surabaya
4 Kerusuhan Mei 1998 di Solo
5 Petani Miskin di Jamrud Katulistiwa
6 Worksop Penelitian
7 VCD Pembelajaran Menyoal Pendidikan Desa Kota
8 Eksistensi PKL ditengah Kapitalisme Simpang Lima Semarang
9 Metode Ceramah dengan pendekatan keteram[ilan variasi pada mata kuliah Antropologi Gender
10 Kemiskinan di Kota Besar
11 Roda Tiga
12 Potret Kehidupan Aku Orang Tak Punya
13 Eksistensi Pasar Johar
14 Usaha Sampingan Bp Anwar Sutoyo
15 Menyoal Perbedaaan Pendidikan Desa kota
16 Sosialisasi peran Gender
17 Balada si James
18 Proses Sosialisasi non formal tanah pedesaan di Jawa
19 Pemanfatan Lahan Pekarangan di Desa
20 Tsunami
21 Nasi Kucing
22 PPL SMU ii
23 Kalau Tidak Ada Air
24 Kampung Naga
25 Daerah ALiran SUngai
26 Perubahan Sosial di Mentawai
27 KOTA Potret Dinamika Kehidupan Masyarakat
28 Pengais sampah Ibukota
29 Upacara Garebeg Maulud
30 Potret Kehidupan Petani
31 ABDI DALEM

SOSIOLOGI AGAMA (karl mark)


Kritik Agama Karl Marx:
Dari Kritik Agama menuju Kritik Masyarakat

Oleh: nn
Koleksi: Lab. Sosant

Pengantar
Bagi Karl Marx, kritik agama menjadi suatu pintu pembuka untuk masuk pada kritik masyarakat karena kritik agama adalah juga kritik terhadap masyarakat yang memproduksi agama. Agama tidak lain adalah produk dari masyarakat kelas dan merupakan ekpsresi dari kepentingan kelas. Dalam hal ini, agama dijadikan alat untuk memanipulasi dan menindas terhadap kelas bawah dalam masyarakat. Dengan penindasan yang terjadi, agama lalu menjadi tempat untuk mengharapkan penghiburan akan dunia yang mendatang. Dengan kata lain, agama membuat manusia menjadi teraleniasi dari dirinya sendiri. Dalam memahami keberadaan dan pengaruh agama terhadap manusia tersebut, Marx mendapatkan inspirasi pemikirannya dari pandangan tokoh yang bernama Feuerbach. Pada tahun 1841, terbit suatu karya Feuerbach yang berjudul Das Wesen des Christentums (Hakikat Agama Kristiani). Buku ini membuka pemikiran Marx dan sungguh menarik perhatiannya. Oleh karenanya, sebelum masuk pada pemikiran Marx tentang kritik agama yang kemudian berkembang ke kritik masyarakat, akan dilihat terlebih dahulu kritik agama Feuerbach.

Kritik Agama Feuerbach
Feuerbach memandang bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama merupakan proyeksi hakikat manusia dan dengan demikian agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Feuerbach melihat pula bahwa hakikat Allah ini tidak lain daripada hakikat manusia itu sendiri yang sudah dibersihkan dari macam-macam keterbatasan atau ciri individualnya dan kemudian dianggap sebagai sebuah kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Dengan kata lain, Allah adalah hasil proyeksi diri manusia. Feuerbach menunjukkan bahwa karakteristik dari Allah itu adalah tidak lain daripada karakteristik manusia yang diproyeksikan melebihi manusia ke dalam dunia fantastis dimana di dalam bentuk yang ditinggikan dan dilebih-lebihkan tersebut, hasil proyeksi itu dipandang akan memimpin pada eksistensi manusia dan mengontrol manusia lewat perintah-perintahnya.
Manusia lalu menganggap bahwa hasil proyeksinya tersebut adalah sesuatu yang lain dari dirinya sendiri. Malahan kemudian manusia begitu terpesona dan merasakan bahwa hasil proyeksinya ini menghadapi dirinya sebagai objek sehingga manusia menempatkan dirinya lebih hina daripada hasil proyeksinya sendiri. Manusia justru mengharapkan bahwa ia akan mendapat berkah dari Allah yang tak lain daripada hasil proyeksinya sendiri. Dengan kondisi semacam ini, manusia malah menjadi terasing dari dirinya sendiri, dari potensi-potensinya. Lebih lagi, Feurbach melihat bahwa dengan agama, manusia lalu menjadi egois karena daripada mengembangkan potensi persahabatan dan cinta kasih, manusia justru mengasingkannya pada cinta kasih Ilahi.
Agama menjadi proyeksi diri manusia dan karena itulah manusia mengalami keterasingan. Feurbach lalu menyimpulkan bahwa untuk mengakhiri keterasingan manusia, agama harus ditiadakan.

Arti Penting Kritik Agama bagi Marx
Kritik agama Feuerbach ternyata membuka cakrawala bagi Marx. Berdasar pemikirannya Feuerbach, Marx menambahkan bahwa orang kristiani mempercayai bahwa Allah itu menciptakan manusia secitra dengan-Nya. Padahal yang menjadi kebenaran bagi Marx adalah bahwa manusia menciptakan Tuhan sesuai dengan citranya. Kekuatan dan kemampuan manusia lalu diproyeksikan ke dalam Tuhan yang dimunculkan sebagai yang Mahakuasa dan Mahasempurna.
Lebih lanjut, menurut Marx, agama adalah universal ground of consolation dan sebagai candu rakyat. Dalam pengertian ini, termuat suatu implikasi bahwa apapun penghiburan yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah merupakan suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dan dalam kenyataannya, justru cenderung merintangi berbagai solusi nyata dengan membuat penderitaan dan penindasan menjadi dapat ditanggung. Solusi nyata yang dimaksud di sini adalah terkait dengan pengusahaan peningkatan kesejahteraan secara material. Agama ternyata tidak mampu mengarah pada hal tersebut. Agama justru membiarkan kondisi yang sudah ada, meskipun orang sedang mengalami penderitaan. Agama mengajak orang hanya berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan barang-barang yang dapat memperbaiki kondisi hidup. Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha konkrit manusiawi untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi. Agama malah menyarankan untuk tidak menjadi lekat dengan barang-barang duniawi dan mengajak orang untuk hanya berpikir mengenai hal-hal surgawi sehingga membuat orang melupakan penderitaan material yang sedang dialami. Agama mengajarkan orang untuk menerima apa adanya termasuk betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.
Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan real. Marx menulis: “penderitaan agama adalah pada saat yang sama merupakan ekspresi atas penderitaan yang real dan suatu protes terhadap penderitaan yang real. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa.
Selain itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Dengan demikian, kritik agama berarti menyingkirkan ilusi-ilusi dimana manusia mencari rasa nyaman di situ di tengah siatuasi tertindas yang ia alami. Kritik agama justru akan membuat mereka membuka mata terhadap kenyataan diri mereka, menghadapinya sehingga akan berusaha berhenti dari segala bentuk ketertindasannya. Mereka (kelas bawah) tidak lagi mau terbuai dengan ide-ide tentang hidup yang bahagia kelak sesudah mati tetapi akan kemudian berusaha mewujudkannya di dunia ini dengan mengubah masyarakat dan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, kritik agama menjadi pembuka kesadaran dari kelas bawah bahwa diri mereka perlu bangkit maju untuk memperbaiki kondisi hidup mereka secara real. Agama perlu ditinggalkan supaya orang dapat merdeka.

Dari Kritik Agama ke Kritik Masyarakat
Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang senyatanya, agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Namun, karena agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut. Marx yakin bahwa agama itu tidak punya masa depan. Agama bukanlah kencenderungan naluriah manusia yang melekat tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu. Secara jelas, Marx merujuk pada tesis Feuerbach yang ketujuh yakni bahwa sentimen religius itu sendiri adalah suatu produk sosial.
Dengan kata lain, Marx melihat bahwa sebetulnya agama bukan menjadi dasar penyebab keterasingan manusia. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Manusia lalu hanya dapat merealisasikan diri secara semu yakni dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga. Oleh karenanya, penyebab keterasingan yang utama haruslah ditemukan dalam keadaan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kritik jangan berhenti pada agama. Bagi Marx, kritik agama akan menjadi percuma saja karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Menurut Marx, kondisi-kondisi materiallah yang membuat manusia mengalienasikan diri dalam agama. Yang dimaksud dengan kondisi material adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam masyarakat.
Pertanyaan lebih lanjut. Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Unsur macam apa yang dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakikatnya? Marx melihat bahwa keterasingan manusia dari kesosialannya haruslah ditemukan dalam struktur masyarakat. Struktur masyarakat yang tidak memperbolehkan manusia bersikap sosial adalah struktur masyarakat yang mana terjadi perpisahan antara civil society (masyarakat sipil ) dan Negara. Dalam masyarakat sipil, orang bergerak karena dimotori oleh kepentingan egoisme sendiri. Dengan kata lain, masyarakat sipil adalah semacam sistem kebutuhan, ruang egoisme dimana manusia berupaya menjadikan orang lain hanya semata-mata sebagai sarana pemenuh kebutuhannya. Persaingan yang sifatnya egois ini akan melahirkan pemenang dan pecundang. Kemudian negara dimunculkan sebagai kekuatan yang mengatasi egoisme individu-individu. Adanya negara dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat. Apabila negara tidak ada, maka masyarakat dapat menjadi anarkis. Negara mengusahakan supaya manusia dalam masyarakat bertindak adil terhadap sesamanya. Sebagai individu, manusia itu egois, dan ia menjadi sosial karena harus taat kepada Negara. Jika manusia itu sosial dengan sendirinya, maka tidak perlu ada Negara yang mengaturnya. Dalam struktur masyarakat yang coba ia pahami, Marx melihat bahwa ternyata agama menjadi suatu produk dari sebuah masyarakat kelas. Agama kemudian ia pandang sebagai produk keterasingan maupun sebagai ekpresi dari kepentingan kelas dimana agama dapat dijadikan sarana manipulasi dan penindasan terhadap kelas bawah dalam masyarakat.
Selain itu, Marx menemukan bahwa keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan tersebut adalah adanya eksistensi Negara sebagai lembaga yang dari luar dan atas memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, padahal individu itu sendiri bertindak egois. Keberadaan Negara tidak dapat menghilangkan karakter egois manusia dalam masyarakat sipil, malahan memperlengkapi karakter egois manusia dengan kerangka legal. Karenanya, bagi Marx yang perlu dikritik adalah seluruh system yang memerlukan Negara, dan bukannya bentuk-bentuk kenegaraan. Secara khusus Marx merumuskan tuntutan: “Kritik agama berakhir dengan ajaran bahwa manusia adalah mahluk tertinggi bagi manusia, jadi dengan imperatif kategoris untuk menumbangkan segala hubungan di mana manusia adalah makhluk yang hina, diperbudak, terlupakan, terhina” [ICHR, MEW 1, 385]. Dengan kata lain, yang diperjuangkan adalah mengenai emansipasi sebagai manusia dimana hal ini dapat dicapai ketika segala macam struktur masyarakat yang membuat manusia terasing dihapuskan. Dalam masyarakat akhir di mana manusia teremansipasi tersebut, keberadaan negara menjadi tidak diperlukan lagi. Manusia akan baik dan bersifat sosial dengan sendirinya

Pelaksanaaan Emansipasi
Permasalahan yang kemudian timbul adalah soal bagaimana melaksanakan emansipasi ini? Cara mencapainya adalah melalui revolusi total. Marx sampai pada pemikiran tersebut karena melihat bahwa kritik teoretis saja ternyata tidak dapat membongkar keterasingan yang berakar dalam struktur-struktur masyarakat. Oleh karenanya, masih diperlukan suatu bentuk kritik praktis terhadap penyebab keterasingan manusia. Akhirnya Marx sampai pada kesimpulan bahwa manusia dapat menjadi bebas dari keterasingannya apabila terjadi suatu revolusi. Revolusi yang membebaskan manusia secara radikal haruslah melahirkan masyarakat tanpa kelas yang berkuasa. Marx mengatakan bahwa revolusi membutuhkan unsur pasif, dasar material. Dalam arti bahwa kebutuhan akan emansipasi itu hendaknya benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan rakyat sehingga dengan demikian rakyat akan terbuka pada kritik teoretis dari filosof.
Revolusi yang dikehendaki terjadi adalah revolusi yang benar-benar radikal, tidak hanya politis. Oleh karenanya, revolusi ini hanya dapat dijalankan oleh kelas yang mengalami penindasan secara total dan juga bermusuhan dengan semua kelas yang lain dalam masyarakat. Mereka ini tidak hanya mengalami beragam penghinaan, tetapi juga merasa telah kehilangan kemanusiaannya. Kelas yang semacam inilah yang menurut Marx dapat melakukan revolusi radikal yang dapat mengemansipasikan manusia tanpa memunculkan struktur kekuasaan kelas atas baru atas kelas-kelas lain. Mereka ini adalah proletariat, yakni kelas total karena tertindas total. Proletariat menjadi partner filosof dalam karya emansipasi manusia. “Kepala emansipasi itu adalah filsafat, hatinya adalah proletariat. [ICHR, MEW 1, 391]. Bagi Marx, amat penting bahwa yang pertama-tama kaum buruh sebagai proletariat itu harus tertarik dengan sendirinya pada kaum intelektual/filosof. Dalam hal ini pula sesungguhnya kaum intelektual harus mampu menangkap penderitaan real para buruh, merefleksikannya secara teoretis dan hal ini pun kemudian harus ditangkap pula oleh para buruh dengan sendirinya. Jadi ada semacam jalinan antara yang teori dengan yang praksis.

Penutup
Karl Marx mengawali pemikirannya tentang kritik masyarakat dengan mengacu pada apa yang diungkapkan oleh Feuerbach berkenaan dengan kritik agama. Bagi Feuerbach, supaya manusia dapat bebas dan mengaktualisasikan hakikatnya secara sepenuhnya, agama harus ditiadakan. Marx lebih jauh menangkap bahwa kritik agama perlu sampai pada kritik terhadap kondisi sosial yang menciptakan agama tersebut. Dalam hal ini, kemudian Marx sampai pada kesimpulan bahwa perlu ada suatu revolusi total oleh kaum proletariat untuk dapat membebaskan manusia dari bentuk keterasingan terutama keterasingan sosial (tidak lagi agama) terlebih dengan adanya masyarakat kelas yang mana kelas bawah mengalami ketidakadilan dan ketertindasan yang juga agama turut serta di dalamnya. Yang menjadi cita-cita adalah terbentuknya masyarakat tanpa kelas. Oleh karenanya menjadi jelas bahwa bagi Marx, kritik agama tidak dapat diabaikan sebagai masuk pada kritik masyarakat. Kritik agama justru menjadi awal dari kritik-kritik yang lain
Daftar Pustaka:
Hamilton, Malcolm B., The Sociology of Religion, London: Routledge, 1995
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004
Kolakowski, Leszek, Main Current of Marxism, Vol.I., Oxford: Clarendon Press, 1978
Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx. Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000
Marx, Karl, Early Writings, London: Pinguin Books, 1992

SOSIOLOGI AGAMA



SOSIOLOGI AGAMA
Oleh: nn
Koleksi: Lab. Sosant

A. Definisi Agama Menurut Durkheim
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudusÉ kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal." Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu itu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat nanti bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis.

B. Sifat Kudus Dari Agama
Sifat kudus yang dimaksud Durkheim dalam kaitannya dengan pembahasan agama bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan sosiologis. Sifat kudus itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang "kudus" itu "dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan radikal dari yang duniawi." Sifat kudus ini dibayangkan sebagai suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya. Durkheim menyambungkan lahirnya pengkudusan ini dengan perkembangan masyarakat, dan hal ini akan dibahas nanti.
Di dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem dan para anggota suku itu sendiri. Pada totemisme Australia, benda-benda yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi masyarakat. Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat yang kudus. Pada totemisme Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya, dan disebut sebagai mana.
Dunia modern dengan moralitas rasionalnya juga tidak menghilangkan sifat kudus daripada moralitasnya sendiri. Ciri khas yang sama, yaitu kekudusan, tetap terdapat pada moralitas rasional. Ini terlihat dari rasa hormat dan perasaan tidak bisa diganggu-gugat yang diberikan oleh masyarakat kepada moralitas rasional tersebut. Sebuah aturan moral hanya bisa hidup apabila ia memiliki sifa "kudus" seperti di atas, sehingga setiap upaya untuk menghilangkan sifat "kudus" dari moralitas akan menjurus kepada penolakan dari setiap bentuk moral. Dengen demikian, "kekudusan"-pun merupakan prasyarat bagi suatu aturan moral untuk dapat hidup di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa "kekudusan" suatu obyek itu tidak tergantung dari sifat-sifat obyek itu an sich tetapi tergantung dari pemberian sifat "kudus" itu oleh masyarakatnya.
C. Ritual Agama
Selain daripada melibatkan sifat "kudus", suatu agama itu juga selalu melibatkan ritual tertentu. Praktek ritual ini ditentukan oleh suatu bentuk lembaga yang pasti. Ada dua jenis praktek ritual yang terjalin dengan sangat erat yaitu pertama, praktek ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau larangan-larangan dalam suatu upacara keagamaan, serta praktek ritual yang positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri dan merupakan intinya.
Praktek-praktek ritual yang negatif itu memiliki fungsi untuk tetap membatasi antara yang kudus dan yang duniawi, dan pemisahan ini justru adalah dasar dari eksistensi "kekudusan" itu. Praktek ini menjamin agar kedua dunia, yaitu yang "kudus" dengan yang "profan" tidak saling mengganggu. Orang yang taat terhadap praktek negatif ini berarti telah menyucikan dan mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam lingkungan yang kudus. Contoh dari praktek negatif ini misalnya adalah dihentikannya semua pekerjaan ketika sedang berlangsung upacara keagamaan. Adapun praktek-praktek ritual yang positif, yang adalah upacara keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan keimanan secara lebih khusyu, sehingga berfungsi untuk memperbaharui tanggung-jawab seseorang terhadap ideal-ideal keagamaan.
D. Hubungan Antara Agama Dengan Kondisi Masyarakat
Di atas tadi sudah dijelaskan bahwa agama dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Di sini perlu diketahui bahwa itu tidak mengimplikasikan pengertian bahwa "agama menciptakan masyarakat." Tetapi hal itu mencerminkan bahwa agama adalah merupakan implikasi dari perkembangan masyarakat. Di dalam hal ini agama menurut Durkheim adalah sebuah fakta sosial yang penjelasannya memang harus diterangkan oleh fakta-fakta sosial lainnya.
Hal ini misalnya ditunjukkan oleh penjelasan Durkheim yang menyatakan bahwa konsep-konsep dan kategorisasi hierarkis terhadap konsep-konsep itu merupakan produk sosial. Menurut Durkheim totemisme mengimplikasikan adanya pengklasifikasian terhadap alam yang bersifat hierarkis. Obyek dari klasifikasi seperti "matahari", "burung kakatua", dll., itu memang timbul secara langsung dari pengamatan panca-indera, begitu pula dengan pemasukkan suatu obyek ke dalam bagian klasifikasi tertentu. Tetapi ide mengenai "klasifikasi" itu sendiri tidak merupakan hasil dari pengamatan panca-indera secara langsung. Menurut Durkheim ide tentang "klasifikasi yang hierarkis" muncul sebagai akibat dari adanya pembagian masyarakat menjadi suku-suku dan kelompok-kelompok analog.
Hal yang sama juga terjadi pada konsep "kudus". Konsep "kudus" seperti yang sudah dibicarakan di atas tidak muncul karena sifat-sifat dari obyek yang dikuduskan itu, atau dengan kata lain sifat-sifat daripada obyek tersebut tidak mungkin bisa menimbulkan perasaan kekeramatan masyarakat terhadap obyek itu sendiri. Dengan demikian, walaupun di dalam buku Giddens tidak dijelaskan penjelasan Durkheim secara rinci mengenai asal-usul sosial dari konsep "kekudusan', tetapi dapat kita lihat bahwa kesadaran akan yang kudus itu, beserta pemisahannya dengan dunia sehari-hari, menurut Durkheim dari pengatamannya terhadap totemisme, dilahirkan dari keadaan kolektif yang bergejolak. Upacara-upacara keagamaan, dengan demikian, memiliki suatu fungsi untuk tetap mereproduksi kesadaran ini dalam masyarakat. Di dalam suatu upacara, individu dibawa ke suatu alam yang baginya nampak berbeda dengan dunia sehari-hari. Di dalam totemisme juga, di mana totem pada saat yang sama merupakan lambang dari Tuhan dan masyarakat, maka Durkheim berpendapat bahwa sebenarnya totem itu, yang merupakan obyek kudus, melambangkan kelebihan daripada masyarakat dibandingkan dengan individu-individu.
Hubungan antara agama dengan masyarakat juga terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini. Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas.
Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian hari menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti misalnya konsep kekuatan kekudusan pada totem itu jugalah yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, di mana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama.
E. Moralitas Individual Modern
Transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern --yang melibatkan pembagian kerja yang semakin kompleks-- seperti yang telah disebutkan di atas melibatkan adanya perubahan otoritas moral dari agama ke moralitas individual yang rasional. Walaupun begitu, moralitas individual itu, seperti yang juga telah disebutkan di atas, menyimpan satu ciri khas dari agama yaitu "kekudusan". Moralitas individual itu memiliki sifat kudus, karena moralitas itu hanya bisa hidup apabila orang memberikan rasa hormat kepadanya dan menganggap bahwa hal itu tidak bisa diganggu-gugat. Dan ini merupakan suatu bentuk "kekudusan" yang dinisbahkan oleh masyarakat kepada moralitas individual tersebut.
Durkheim menyebutkan bahwa sumber dari moralitas individual yang modern ini adalah agama Protestan. Demikian pula Revolusi Perancis telah mendorong tumbuhnya moralitas individual itu. Di sini perlu ditekankan bahwa moralitas individual tidak sama dengan egoisme. Moralitas individual, yang menekankan "kultus individu" tidak muncul dari egoisme, yang tidak memungkinkan bentuk solidaritas apapun. Adanya anggapan bahwa moralitas individual itu berada di atas individu itu sendiri, sehingga pantas untuk ditaati (sifat kudus dari moralitas individual), menunjukkan perbedaan antara moralitas individual dengan egoisme. Contoh konkrit dari hal ini adalah dalam bidang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menekankan penelitian bebas yang merupakan salah satu bagian dari moralitas individual, tetapi ia tidak mengikutsertakan suatu bentuk anarki, suatu penelitian ilmiah dengan kebebasan penelitiannya justru hanya bisa berlangsung dalam kerangka peraturan-peraturan moral, seperti rasa hormat terhadap pendapat-pendapat orang lain dan publikasi hasil-hasil penelitian serta tukar menukar informasi.
Dengan demikian, otoritas moral dan kebebasan individual sebenarnya bukanlah dua hal yang saling berkontradiksi. Seseorang, yang pada hakekatnya adalah juga mahluk sosial, hanya bisa mendapatkan kebebasannya melalui masyarakat, melalui keanggotaannya dalam masyarakat, melalui perlindungan masyarakat, melalui pengambilan keuntungan dari masyarakatnya, yang berarti juga mengimplikasikan subordinasi dirinya oleh otoritas moral. Menurut Durkheim, tidak ada masyarakat yang bisa hidup tanpa aturan yang tetap, sehingga peraturan moral adalah syarat bagi adanya suatu kehidupan sosial. Di dalam hal ini, disiplin atau penguasaan gerak hati, merupakan komponen yang penting di dalam semua peraturan moral. Bagaimanakah dengan sisi egoistis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari diri manusia yang diakui oleh Durkheim sendiri? Setiap manusia memang memulai kehidupannya dengan dikuasai oleh kebutuhan akan rasa yang memiliki kecenderungan egoistis. Tetapi egoisme yang menjadi permasalahan kebanyakan adalah bukan egoisme jenis ini, melainkan adalah keinginan-keinginan egoistis yang merupakan produk sosial, yang dihasilkan oleh masyarakat. Individualisme masyarakat modern, sebagai hasil perkembangan sosial, pada tingkat tertentu merangsang keinginan-keinginan egoistis tertentu dan juga merangsang anomi. Hal ini dapat diselesaikan dengan konsolidasi moral dari pembagian kerja, melalui bentuk otoritas moral yang sesuai dengan individualisme itu sendiri, yaitu moralitas individual. Dari sini dapat dikatakan bahwa moralitas individual yang rasional itu dapat dijadikan sebagai otoritas pengganti agama pada masyarakat modern.
Sumber Acuan:
Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya-tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, diterjemahkan oleh Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI-Press, 1986.